DIFTERI
A. Definisi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae yang berasal dari membran mukosa hidung dari nasofaring, kulit, dan lesi lain dari orang yang terinfeksi.
B. Etiologi
Coynebacteriunt diphteriae, bakteri berbentuk batang gram positif
C. Epidemiologi
Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi
D. Patofsiologi
- Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi.
- Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudo membran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
- Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul miriasis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
- Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudo membran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
E. Klasifikasi
Biasanya pembagian dibuat menurut tampat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach, dkk (1950) sebagai berikut:
a. Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejalahanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
c. Infeksi berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yg berat, yg hanya dapat diatasi dengan trekeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis atau pun nefritis dapat menyertai.
F. Gejala Klinis
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membran, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena.
Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat ntyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkerta seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis paralisis jaringan Saraf atau nefritis .
1. Difteria hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapai (hanya 2%). Mula-mula hanya tam-pak pilek, tetapi kemudian sekret yang ke luar tercampur darah sedikit yang ber-asal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai fa¬ring dan laring. Perderita diabati seperti penderita difteria lainnya.
2. Difteria faring don tonsil (difteria fausial)
Paling sering dijumpai (± 75%). Gejala mungkin tingar. Hanya berupa radang pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakart yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dergan suahu yang ti¬dak terlalu tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya be¬rapa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehilgga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956) meryatakan bahwa setiap bercak keputihan di luar tonsil dapat dianggap sebagai difteria, se¬dangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membran yang me¬nutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dianggap sebagai difteria.
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun be-lum terjadi sumbatan taring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar haemoglobin dan leukositosis, polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumi, sedangkan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan.
3. Diftheria laring dan trakhea
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dart tonsil (3 kali lebih banyak) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas hebat, sia-nosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium Pembesaran ketenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada pemeriksaan laring tampak kemera-han, sembab, banyak sekret dan permukaan ditutupi oteh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4. Difteria faeraneus
Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat. Tan Eng Tie(1965) men-dapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteria. Da-pat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilikus.
G. Komplikasi
a. Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala bronkopneumonia atelaktasis
b. Kardiovaskuler
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini.
c. Urogenital
Dapat terjadi nefritis
d. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami kompikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik.
Paralisis/parese dapat berupa:
a. Palisis/paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu kesatu dan kedua
b. Paralisis/paresis otot otot mata; sehingga dapat mengakibatkan strabismus gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbuI setelah minggu ketiga.
c. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
H. Prognosis
Nelson berpendapat kematian penderita difteria sebesar 3 - 5% dan sangat bergantung kepada:
a. Umur penderita, karena makin muda umetr anak prognosis makin buruk.
b. Perjalanan penyakit, karena makin lanjut makin buruk prognosisnya.
c. Letak lesi difteria
d. Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi kurang.
e. Pengobatan. Makin lambat pemberian antitoksin, prognosis akan makin bu¬ruk.
I. Pencegahan
1. lsolasi penderita.
Penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipuiangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheriae 2 kali berturut-turut.
2. Imunisasi
3. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria. Dilakukan dengan uji Schick. yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi), maka hmvs diiakukan hapusan tenggorok. Jika ter¬nyata ditemukan C. diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dila¬kukan tonsilektomi:
J. Penatalaksanan Teraupetik
1. Pengobatan Umum
Terdiri dari perwatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG tiap minggu.
2. Pengobatan Spesifik
a. Anti Diphtheria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata Bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desensitisasi dengan cara Besredka
b. Antibiotika diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang diiakukan trakeostomi, ditambahkan kloram¬fenikol 75 mm/kgbb/hari, dibagi 4 dosis.
c. Kortikosteroid. Obit ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednison 2 mg/kkbbb/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap
Penderita difteria dirawat selama 3 - 4 rninggu. Bila terdapat sumbatan jalan nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteri laring dengan sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa penderita Perawatan pasca-trakeostomi juga memegang peranan penting seperti pengisapan lendir secara berhati-hati dan teratur sebab pengisapan lendir secara sembrono dapat menimbulkan refleks vagal yang dapat menyebabkan kematian. Intubasi trakea juga dapat dipakai untuk menolong penderita yang mengalami sumbatan jalan nafas dan dapat dilakukan oleh dokter umum.
Bila ada komplikasi paralisis/paresis otot, dapat diberikan sriknin ¼ mg dan vitaminmin B1 100 mg setiap hari seiama 10 hari berturut-turut.
K. Penatalaksanaan Perawatan
1. Pengkajian
- Riwayat keperawatan; riwayat terkena penyakit infeksi, status inimunisasi
- Kaji tanda tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring, dan laring
- Lihat dari manfestasi klinis berdasarkan alur patofisiologi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
b. Resiko penyebarluasan. infeksi berhubungan. dengan organisme virulen
c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun)
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang.
3. Perencanaan
a. Anak akan menunjukkan tanda tanda jalan nafas efektif
b. Penyebarluasan infeksi tidak terjadi
c. Anak menunjukkan tanda tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi
d. Anak akan mempertamankan keseimbangan cairan.
4. Implementasi
a. Meningkatkan jalan nafas efektif
- Kaji status pernafasan observasi irama dan bunyi pernafasan.
- Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi
- Suction jalan nafas jika terdapat sumbatan
- Berikan oksigen sebelum dan setelah dilakukan suction
- Lakukan fisioterapi dada
- Persiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi
- Lakukan pemeriksaan analisa gas darah
- Lakukan intubasi jika ada indikasi
b. Perluasan infeksi tidak terjadi
- Tempatkan anak pada ruang khusus
- Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit
- Gunakan prosedur perlindungan infeksi jika melakukan kontak dengan anak
- Berikan antibiotik sesuai order
c. Kekurangan volume cairan tidak terjadi
- Memonitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang tepat
- Kaji adanya tanda tanda dehidrasi (membran mukosa kering, turgor, kulit kurang, produksi urin menurun, frekuensi denyut jantung dan pernafasan. meningkat, tekanan darah menurun, fontanel cekung).
- Kolaborasi untuk pernberian cairan parenteral jika pemberian cairan melalui oral tidak memungkinkan.
d. Meningkatkan kebutuhan nutrisi
- Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
- Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak
- Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral
- Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lenga, memberan mukosa) yang adekuat.
5. Perencanaan Pemulangan
- Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping
- Melakukan prosedur immunisasi jika immunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur
- Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadwal
- Informasikan jika terdapat tanda-tanda bahaya terjadinya kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Supriadi, 2004, Asuhan Keperawatan Anak, Jakarta: Sagung Seto
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 2005, IlmU Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae yang berasal dari membran mukosa hidung dari nasofaring, kulit, dan lesi lain dari orang yang terinfeksi.
B. Etiologi
Coynebacteriunt diphteriae, bakteri berbentuk batang gram positif
C. Epidemiologi
Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi
D. Patofsiologi
- Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi.
- Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudo membran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
- Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul miriasis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
- Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudo membran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
E. Klasifikasi
Biasanya pembagian dibuat menurut tampat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach, dkk (1950) sebagai berikut:
a. Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejalahanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
c. Infeksi berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yg berat, yg hanya dapat diatasi dengan trekeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis atau pun nefritis dapat menyertai.
F. Gejala Klinis
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membran, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena.
Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat ntyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkerta seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis paralisis jaringan Saraf atau nefritis .
1. Difteria hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapai (hanya 2%). Mula-mula hanya tam-pak pilek, tetapi kemudian sekret yang ke luar tercampur darah sedikit yang ber-asal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai fa¬ring dan laring. Perderita diabati seperti penderita difteria lainnya.
2. Difteria faring don tonsil (difteria fausial)
Paling sering dijumpai (± 75%). Gejala mungkin tingar. Hanya berupa radang pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakart yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dergan suahu yang ti¬dak terlalu tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya be¬rapa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehilgga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956) meryatakan bahwa setiap bercak keputihan di luar tonsil dapat dianggap sebagai difteria, se¬dangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membran yang me¬nutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dianggap sebagai difteria.
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun be-lum terjadi sumbatan taring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar haemoglobin dan leukositosis, polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumi, sedangkan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan.
3. Diftheria laring dan trakhea
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dart tonsil (3 kali lebih banyak) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas hebat, sia-nosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium Pembesaran ketenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada pemeriksaan laring tampak kemera-han, sembab, banyak sekret dan permukaan ditutupi oteh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4. Difteria faeraneus
Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat. Tan Eng Tie(1965) men-dapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteria. Da-pat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilikus.
G. Komplikasi
a. Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala bronkopneumonia atelaktasis
b. Kardiovaskuler
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini.
c. Urogenital
Dapat terjadi nefritis
d. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami kompikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik.
Paralisis/parese dapat berupa:
a. Palisis/paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu kesatu dan kedua
b. Paralisis/paresis otot otot mata; sehingga dapat mengakibatkan strabismus gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbuI setelah minggu ketiga.
c. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
H. Prognosis
Nelson berpendapat kematian penderita difteria sebesar 3 - 5% dan sangat bergantung kepada:
a. Umur penderita, karena makin muda umetr anak prognosis makin buruk.
b. Perjalanan penyakit, karena makin lanjut makin buruk prognosisnya.
c. Letak lesi difteria
d. Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi kurang.
e. Pengobatan. Makin lambat pemberian antitoksin, prognosis akan makin bu¬ruk.
I. Pencegahan
1. lsolasi penderita.
Penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipuiangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheriae 2 kali berturut-turut.
2. Imunisasi
3. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria. Dilakukan dengan uji Schick. yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi), maka hmvs diiakukan hapusan tenggorok. Jika ter¬nyata ditemukan C. diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dila¬kukan tonsilektomi:
J. Penatalaksanan Teraupetik
1. Pengobatan Umum
Terdiri dari perwatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG tiap minggu.
2. Pengobatan Spesifik
a. Anti Diphtheria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata Bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desensitisasi dengan cara Besredka
b. Antibiotika diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang diiakukan trakeostomi, ditambahkan kloram¬fenikol 75 mm/kgbb/hari, dibagi 4 dosis.
c. Kortikosteroid. Obit ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednison 2 mg/kkbbb/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap
Penderita difteria dirawat selama 3 - 4 rninggu. Bila terdapat sumbatan jalan nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteri laring dengan sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa penderita Perawatan pasca-trakeostomi juga memegang peranan penting seperti pengisapan lendir secara berhati-hati dan teratur sebab pengisapan lendir secara sembrono dapat menimbulkan refleks vagal yang dapat menyebabkan kematian. Intubasi trakea juga dapat dipakai untuk menolong penderita yang mengalami sumbatan jalan nafas dan dapat dilakukan oleh dokter umum.
Bila ada komplikasi paralisis/paresis otot, dapat diberikan sriknin ¼ mg dan vitaminmin B1 100 mg setiap hari seiama 10 hari berturut-turut.
K. Penatalaksanaan Perawatan
1. Pengkajian
- Riwayat keperawatan; riwayat terkena penyakit infeksi, status inimunisasi
- Kaji tanda tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring, dan laring
- Lihat dari manfestasi klinis berdasarkan alur patofisiologi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
b. Resiko penyebarluasan. infeksi berhubungan. dengan organisme virulen
c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun)
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang.
3. Perencanaan
a. Anak akan menunjukkan tanda tanda jalan nafas efektif
b. Penyebarluasan infeksi tidak terjadi
c. Anak menunjukkan tanda tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi
d. Anak akan mempertamankan keseimbangan cairan.
4. Implementasi
a. Meningkatkan jalan nafas efektif
- Kaji status pernafasan observasi irama dan bunyi pernafasan.
- Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi
- Suction jalan nafas jika terdapat sumbatan
- Berikan oksigen sebelum dan setelah dilakukan suction
- Lakukan fisioterapi dada
- Persiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi
- Lakukan pemeriksaan analisa gas darah
- Lakukan intubasi jika ada indikasi
b. Perluasan infeksi tidak terjadi
- Tempatkan anak pada ruang khusus
- Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit
- Gunakan prosedur perlindungan infeksi jika melakukan kontak dengan anak
- Berikan antibiotik sesuai order
c. Kekurangan volume cairan tidak terjadi
- Memonitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang tepat
- Kaji adanya tanda tanda dehidrasi (membran mukosa kering, turgor, kulit kurang, produksi urin menurun, frekuensi denyut jantung dan pernafasan. meningkat, tekanan darah menurun, fontanel cekung).
- Kolaborasi untuk pernberian cairan parenteral jika pemberian cairan melalui oral tidak memungkinkan.
d. Meningkatkan kebutuhan nutrisi
- Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
- Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak
- Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral
- Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lenga, memberan mukosa) yang adekuat.
5. Perencanaan Pemulangan
- Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping
- Melakukan prosedur immunisasi jika immunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur
- Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadwal
- Informasikan jika terdapat tanda-tanda bahaya terjadinya kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Supriadi, 2004, Asuhan Keperawatan Anak, Jakarta: Sagung Seto
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 2005, IlmU Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.
0 komentar:
Posting Komentar